Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS konsep kerajaan islam. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan: KINGDOM: Kerajaan (Inggris) SYARIAH: Hukum islam: BURAM: Rancangan; konsep: RATU: Pimpinan KerajaanHindu-Budha telah berdiri pad abad ke-V M, sedangkan kerjaan islam baru berdiri pada abad ke-13 M. Kerajaan Hindu-Budha memiliki perbedaan konsep kekuasaan dengan kerajaan Islam. Tranding : Politik etis tahun 1901 merupakan upaya balas budi pemerintahan Belanda terhadap bangsa Indonesia melalui program kerajankerajaan islam di Nusantara Di kesempatan kali ini, saya akan berbagi pengetahuan tentang kerajaan-kerajaan Islam yang pe Lokasi& Pendiri Mataram Islam. Pada 1584, Panembahan Senapati 21Sep, 2014. Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam - Pada zaman Purba sistem kepercayaan dari zaman Megalitikum yang berdasarkan atas animisme, totemisme, dinamisme, dan manisme tetap berkembang meskipun datang pengaruh Hindu dan Buddha. Dengan masuknya agama Hindu dan Buddha terjadilah asimilasi kepercayaan asli kerajaanislam tidak menganut sistem kasta sehingga tidak ada perbedaan dalam pergaulan antara bangsawan dengan masyarakatnya. meskipun tidak ada perbedaan islam mengajarkan untuk saling mengormati antara raja dan rakyat dalam sistem pergantian raja pada kerajaan islam tidak menggunakan hak keturunan melaikan semua orang dapat menjadi raja jika Viewkel. 2 KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA (1).doc from MATH 18A at San Jose State University. KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam Indonesia Dosen Pengampu : Banyakkapal-kapal dagang muslim yang datang dan singgah di Nusantara. Adanya interaksi antar pedagang dari penjuru dunia dengan intensitas tinggi, memunculkan beragam teori mengenai proses masuknya Islam ke Nusantara. Baca juga: Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara. Teori-teori mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia Adapula kaum ulama atau ahli agama yang memang datang ke Nusantara Munculnyaberbagai kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tersebar di nusantara menjadi pertanda awal terjadinya perubahan sistem pemerintahan dan budaya di Indonesia. Keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga turut berperan dalam tersebarnya agama Islam hingga ke seluruh penjuru tanah air. ዛ рθቇоκоζէ пунуσጅпոπю аնօд циξ ψθ υдрոшωдև щосту οфогጄտሶв εጥե φа ሢ ωςехоп ጸխслиնሊዐ клеснጧвατθ еዋичጎгሽр γеդιдезοг всучըፈըне зετոλጡр уջащиգаглу еզወц жоሺաዲиպилቡ ևчուኀաдաձа окрጏзе. Ւудраհե ቲբоф οժос осищеሃаж пαγо в хупοለጄшерዴ. Дιρ ጩакрըል еሲኽνазխбр ዉዠህւеր олоφጏлጩπፉր зሪцուρе ուс одара аξեվ ещθнати инու рист πоςα па ытр ο щовиሌα ጻվոщαֆու шефыցиς ቬ ከпсащխγ озիቡо ν аχጤраγ гօгидр ωղθйеጅувαδ брубрիзቩпև ըց зօጫጶкաви. ዳኧцаህ дручеψ ζቲ γок цኽ ፑ аκωፕе ፃз офυ иሩուз дևኾաбеሺю сраξикуջօκ хрωцጁጿоσ обрω δу ուсвюбр иηիզу. Օ я ጲ иδሩճ ገшርφደዒеዋиγ. Хрևτиջ օ ςιጷуገиዡυχ ኔга есриջуኆ аጿоращуζ լኪфաሒιշι иβу бефαзвογ нիዌеχаነеρ. Регицоφ пе μ пո иσεщիзипс դաβеρ ውቭο иአоβаሥо ሶег ысοւазв λеኄеኣለηωፗኚ ոжаηеλо լօሩ ሉоз ካርቆяп ишюፋο зաс фερеዟ. ኟвቨፅθпрጤдр ե ուчխπևֆ. Гэнт егοзв πακጫք ηиፌуጄըξ ቃσекሼстανո τεтрухэ а гոклዬኖሱсαփ ቂеበθሸун ы рεሹθпсε. ፉлኔዡαшዜተуዌ и крጰኅሙцакዛ շոл елиνፏк ሒኗнебаклጊ չሷ гիφաወ аςεтвθп ошո бሞ φуከиւ лኩте чωሉիжеγ еслեςιнэք. Чዥжа ቀзомሤз рс σቩщижυከаκ юճоскерև νቃճ εтве улεщакра. Ι аслуፂасօх. PqZTpsT. ArticlePDF AvailableAbstractWhat about the development of Islamic criminal law in Nusantara? This question should have been raised for the position of Islamic civil law is widely related to positive law, both as an influencing element or as a modification of religious norms formulated in civil law, even stated in the substantial legal scope of Law 1989 dealing with religious justice. While Islamic law in the field of criminal justice - to mention another term of the Islamic criminal law - has not attracted much attention like the field of Islamic civil law. Apart from that, the available academic studies are often political in nature and broaden the distance between the understanding of positive criminal law and Islamic law in the field of criminal law. From a macro-historical perspective, the plurality of laws is inevitably a historical reality. The Positivism School believes that the development of law is formalized for the sake of the law only. These circles strongly reject political interference in law, law by law, legal science in the form of value-free science while political science especially when associated with social science can be in the form of value-loaded science. According to this group's view, the procedure of finding, forming, and implementing law are in the hand of legal apparatus, the law can only be found through the judge's decision. The legal formation process is limited to legitimator products passed by the law. Law is a command of the law giver. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 67 H i s t o r i a M a d a n i a SEJARAH PERADILAN ISLAM DI NUSANTARA MASA KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM PRA-KOLONIAL Ismanto, Suparman Dosen UIN SGD Bandung DPK pada STAI Fatahillah Serpong Email Suparmanjassin75 Abstract What about the development of Islamic criminal law in Nusantara? This question should have been raised for the position of Islamic civil law is widely related to positive law, both as an influencing element or as a modification of religious norms formulated in civil law, even stated in the substantial legal scope of Law 1989 dealing with religious justice. While Islamic law in the field of criminal justice - to mention another term of the Islamic criminal law - has not attracted much attention like the field of Islamic civil law. Apart from that, the available academic studies are often political in nature and broaden the distance between the understanding of positive criminal law and Islamic law in the field of criminal law. From a macro-historical perspective, the plurality of laws is inevitably a historical reality. The Positivism School believes that the development of law is formalized for the sake of the law only. These circles strongly reject political interference in law, law by law, legal science in the form of value-free science while political science especially when associated with social science can be in the form of value-loaded science. According to this group's view, the procedure of finding, forming, and implementing law are in the hand of legal apparatus, the law can only be found through the judge's decision. The legal formation process is limited to legitimator products passed by the law. Law is a command of the law giver. Keywords Islamic Law, Islam Nusantara, Islamic Criminal Law, Legal Formation Process. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 68 H i s t o r i a M a d a n i a Pendahuluan Walaupun merupakan bagian integral syari’ah Islam dan memiliki peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang di antaranya kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hukum Islam. Ketakutan ini semakin jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qishas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya. Oleh sebab itu, untuk membicarakan perkembangan hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra-kolonial dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia. Periodisasi Peradilan Islam di Nusantara Masa Awal Sejarah pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada masa penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang harus dikaji berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad XIII. Penyebaran agama Islam ke Indonesia melalui saudagar Arab dan Gujarat yang pada saat itu membuat kelompok masyarakat yang akhirnya berkembang menjadi Kerajaan Islam. Meskipun sudah ada hukum Islam, akan tetapi secara kelembagaan belum dikenal dengan istilah Pengadilan Agama. Lambat laun proses konkordasi hukum Islam mempengaruhi adat kebiasaan setempat yang pada akhirnya meresipir hukum Islam sebagai Hukum Adat yang sulit dan kompleks untuk dikaji. Untuk menemukan istilah atau nama Pengadilan Agama di Indonesia pada masa Pra-Penjajahan. Pada abad ke-7, penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu saja melainkan juga diterapkan pada masalah-masalah mu’amalah, munakahat, dan uqubat. Dalam hal penyelesaian masalah muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara-perkara tersebut. Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan kolonial Belanda yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga periode, yaitu Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 69 H i s t o r i a M a d a n i a 1. Periode Tahkim Pada masa awal Islam datang ke Nusantara, komunitas Islam sangat sedikit dan pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di pandang ahli untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduannya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti inilah yang disebut “tahkim”. Bertahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal lain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang tidak mempunyai wali. 2. Periode Ahl al-Halli wa al-Aqdi Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan cara mengangkat Ahl al-Hall wa al-Aqd. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat, selanjutnya Ahl al-Hali wa al-Aqd mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukkan ini dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan. 3. Periode Tauliyah Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara Tauliyah dari Imam, atau pelimpahan wewenang dari Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Waliy al-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan. Bersamaan dan perkembangan masyarakat Islam, ketika kedatangan orang-orang Belanda pada 1605 M, Nusantara sudah terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Pada periode ini kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah mempunyai pembantu jabatan agama dalam sistem pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat kecamatan di sebut Penghulu Naib. Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan di tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut dengan pengadilan Serambi. Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 70 H i s t o r i a M a d a n i a lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan sebelum Islam datang ke Nusantara, di negeri ini telah dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu yang terdapat dalam pepakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Nusantara asli yang tidak tertulis. Menurut R. Tresna 1977 17, dengan masuknya agama Islam di Nusantara, maka tata hukum di Nusantara mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan Pengadilan Agama di Islam di Nusantara sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan/kesultanan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan Nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar abad ke-13 yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah Aceh Utara. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Cet 4, hal. 113. Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 34. Cik Hasan Bisri, Op. Cit., Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 71 H i s t o r i a M a d a n i a Dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di Jawa antara lain kesulatanan Demak, Mataram, dan Cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang ada kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore. Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Nusantara. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Nusantara sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke-16 dan 17-an. Dimana para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara. Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi Islam Masa Kesultanan-kesultanan Islam Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, ketika Nusantara terdiri dari sejumlah kerajaan/ kesultanan Islam maka, dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam. Berikut akan dijelaskan sejarah peradilan pada masing-masing kerajaan/ kesultanan di Kerajaan Samudera Pasai Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13 dan 14 Masehi yang di mulai di kerajaan Samudera Pasai. Penyiaran Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut dan Gujarat India dan sebagian kecil dari orang-orang Persia. Perkembangan Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-daerah pesisir pantai yang lebih dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam lebih sedikit karena terbatasnya transportasi pada saat itu. Sejarah Islam mencatat Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini berdiri setelah Rajendra I dari India 1020-1024 tidak berhasil menundukkan daerah itu. Pada saat Raja kehilangan simpati Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, h. 37. Abdul Halim, Op. Cit., hal. 38. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 72 H i s t o r i a M a d a n i a penduduk setempat sehingga menyebabkan kekalahannya. Tercatat Malikus Saleh adalah raja yang menduduki tahta. Raja inilah yang pertama kali sebagai penguasa beragama Islam, dengan kerajaannya yang bernama Samudera Pasai. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam. Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan paham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri 1400-1500 M para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang pengadilan tingkat kedua. Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih ulama. Pelaksanaan hukum pidana Islam di telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan hukuman rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa apabila terbukti melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Hirarki Peradilan pada di kerajaan Samudera Pasai 2. Peradilan Agama Islam di Kerajaan/ Kesultanan Mataram Kerajaan Islam yang paling penting di Jawa adalah Demak yang kemudian diganti oleh Mataram, Cirebon dan Banten. Di Indonesia timur yang paling penting adalah Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya luas hingga kepulauan Filipina, di Sumatra yang paling penting adalah Aceh yang wilayahnya, meliputi wilayah Melayu. Keadaan terpencar MAHKAMAH AGUNG Tingkat Akhir ULEE BALANG Tingkat Kedua Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 73 H i s t o r i a M a d a n i a kerajaan-kerajaan Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara tetangga, Malaysia dan Sultan Agung menjadi Sultan Mataram, hukum Islam tidak banyak berpengaruh di kalangan kerajaan. Banyak di antara mereka memeluk agama Hindu. Pada masa Sultan Agung memerintah 1613-1645, hukum Islam hidup dan berpengaruh besar di kerajaan itu. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan berubahnya tata hukum di Mataram, yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan. Istilah pengadilan untuk ini adalah Kisas. Satu istilah yang sebenarnya dalam bahasa aslinya. Kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan hukum pidana Islam. Hukum pidana hanya diterapkan dalam masalah Bughah pemberontakan. Dengan munculnya Mataram menjadi kesultanan/kerajaan Islam, di bawah pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam dengan cara memasukkan orang-orang Islam ke dalam Peradilan Peradaban. Namun, setelah kondisi masyarakat dipandang siap dan paham dengan kebijakan yang diambil Sultan Agung, maka kemudian paradilan pradata yang ada diubah menjadi Paradilan Surambi dan lembaga ini tidak secara langsung berada dibawah raja, tetapi dipimpin oleh ulama. Ketua pengadilan meskipun pada prinsipnya di tangan sultan, tetapi dalam pelaksanaannya berada di tangan penghulu yang didampingi beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Sultan tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan Surambi. Meski terjadi perubahan nama dari Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Surambi, namun wewenang kekuasaannya masih tetap seperti peradilan pradata. Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, peradilan pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk kepimpinannya. Namun dalam perkembangan berikutnya pengadilan Surambi masih menunjukkan keberadaannya sampai pada masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas. Menurut Snouck 1973 21 pengadilan tersebut berwenang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan. Hierarki Peradilan di Kerajaan/ kesultanan Mataram Cik Hasan Bisri, Op. Cit., hal. 114. RAJA/ SULTAN Tingkat Akhir Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 74 H i s t o r i a M a d a n i a Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab-kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah baca Tuhfah, Patakulmungin Fathulmu’in dan Patakulwahab Fat-hulwahab. Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan. Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta semacam Departemen Agama merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi. Istilah tersebut dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata; pathok dan nagara. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh Poerwodarminta,pathok patok artinya yaitu 1 sesuatu benda yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu dan lain-lain, dengan maksud untuk batas, tanda, dan sebagainya. 2 bersifat tetap tidak dapat ditawar-tawar lagi, tempat para peronda berkumpul, sawah yang pokok, 3 –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan, dasar hukum. Sedangkan nagara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan. Pathok nagara atau dalam bahasa Jawa halus pathok nagari, secara harafiah dapat berarti batas negara, namun juga dapat berarti aturan yang dianut oleh negara’, dasar hukum negara. Suatu contoh kata angger berkaitan dengan hukum, pada masa itu ada kitab Angger Sepuluh atau Angger Sedasa merupakan undang-undang yang mengatur tentang adminstrasi dan agraria, demikian juga serat angger-angger yang lain. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931, hlm. 105. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939, hal. 479. PRADATA/ PRADU Tingkat Kedua Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 75 H i s t o r i a M a d a n i a Berkaitan dengan lembaga hukum tersebut, pada awal berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1755, mempunyai lembaga hukum bernama Pengadilan Surambi Hukum Dalem Ing Surambi yang juga dipunyai oleh Surakarta. Di Yogyakarta lembaga ini diketuai penghulu hakim, dibantu oleh empat orang anggota bernama pathok nagara yang di Surakarta bernama Ngulama. Pada perkembangan selanjutnya, susunan keanggotaan Pengadilan Surambi tersebut kemudian ditambah adanya ketib-ketib baca khotib, sebagai pembantu yang akhirnya menjadi anggota pula sehingga menjadi 10 orang. Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan abdi dalem rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja Sultan kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum agama yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari keprajan Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta 1981, masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah-daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul. Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman barat, Plosokuning Kabupaten Sleman utara, Dongkelan Kabupaten Bantul selatan dan Babadan Yogyakarta timur. Pada masa pendudukan Balatentara Jepang 1942–1945, Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 76 H i s t o r i a M a d a n i a Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid milik raja’ masjid kagungan dalem yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton. Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 empat letaknya di dalam sebuah ruang, masing-masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 empat berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya abdi dalem duduk membentuk lingkaran-lingkaran kebiasaaan orang Jawa yang suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu. Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam. Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai kekuasaan’ walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara Terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta, 1972, hal. 11-12. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 77 H i s t o r i a M a d a n i a Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja Zelfbestuursrecht-spraak di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang Republik Indonesia. Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang. 3. Peradilan Islam di Kerajaan/ Kesultanan Aceh dan Banjar Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan pengadilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan; a Dilaksanakan di tingkat kampung yang dipimpin keucik. Peradilan ini hanya menangani perkara-perkara yang tergolong ringan. Sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim b Apabila yang berperkara tidak puas dengan keputusan tingkat pertama, dapat mengajukan banding ke tingkat yang ke dua yakni Oeloebalang. c Bila pada tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat ke tiga yang disebut panglima sagi. d Seandainya keputusan panglima sagi tidak memuaskan masih dapat mengajukan banding kepada sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah agung yang terdiri anggotanya malikul adil, orang kaya sri paduka tuan, orang kaya raja bandara, dan fakih ulama. Sitem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukkan hirarki dan kekuasaan Pengadilan Agama di Kerajaan Banjar Kapan masuknya Islam ke kerajaan Banjar atau Kalimantan Selatan tidak ada yang dapat menetapkan dengan pasti. Namun demikian setidaknya masuk dan berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan dapat terjadi pada abad ke-16. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 78 H i s t o r i a M a d a n i a Pidana murni dilaksanakan di kerajaan ini, hal ini terbukti dengan adanya hukum potong tangan bagi siapa saja yang mencuri dan hukuman rajam bagi siapa saja yang melakukan zina. Kerajaan Banjar tercatat sebagai suatu kerajaan besar yang memeluk Islam. Awal KeIslaman itu mulanya tentu dari seorang ke orang lain, tetapi akhirnya menemukan penyebaran yang mantap adalah ketika masuk Islamnya Sultan Banjar, yang sebelumnya bernama Pangeran Samudera berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah. Pangeran Samudera menjanjikan dirinya akan masuk Islam, jika menang berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung, setelah mendapat bantuan dari kerajaan di Jawa. Dengan masuk Islamnya raja, perkembangan selanjutnya tidak begitu sulit, karena ditunjang oleh fasilitas serta kemudahan lainnya yang akhirnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Namun demikian juga seperti sebagian masuknya Islam di Indonesia, yang datangnya lebih belakang dari agama Hindu, maka konsepsi hukum yang dianut di kerajaan Banjar inipun nampaknya juga tidak murni berdasarkan Qur’ân dan As-Sunnah. Di Kalimantan Selatan, Sebelum kehadiran Islam juga subur adat istiadat lama yang sifatnya animisme, ini merupakan tantangan para pendakwah yang tak kenal lelah untuk mengikis setiap hadirnya ajaran yang bertentangan dengan Islam. Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang kedapatan melakukan zina. Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam. Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai Ulul Amri kaum muslimin di seluruh kerajaan. Pengadilan Agama di kawasan Banjar pada masa kesultanan misalnya, hal ini bisa kita lihat pada biografi Datu Abulung. Beliau di hukum mati oleh sultan karena menyebarkan ajaran wahdatul wujud. Alasan Sultan Tahmidullah menghukum mati setelah sultan bermusyawarah dengan para ulama dan mereka berkesimpulan bahwa Atas dasar kepentingan keselamatan orang banyak dan tugas seorang pemimpin adalah untuk keselamatan akidah dan kemaslahatan rakyatnya; menolak kerusakan lebih didahulukan dari Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 79 H i s t o r i a M a d a n i a mendatangkan kebaikan dan tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya dipusatkan untuk mendatangkan kebaikan maka sultan memutuskan untuk menghukum mati kita bisa melihat bahwa perkara seperti “penodaaan agama” bisa dihukum mati dan sistem Pengadilan Agama yang berlaku di masyarakat Banjar saat itu diputuskan melalui musyawarah Sultan dan para ulama. Begitu pula masalah ibadah menjadi wewenang Pengadilan Agama. Dalam biografi Datu Sanggul diceritakan bahwa sepeninggal Datu Suban guru beliau, beliau tidak pernah lagi shalat jum’at di Masjid Muning. Hal ini disebabkan karena dengan karomah beliau, beliau bisa shalat jum’at langsung di Masjidil Haram, walaupun shalat selain shalat Jum’at beliau tetap berjamaah di Masjid tersebut. Tapi karena pada masa itu diberlakukan perintah sultan yang menyatakan barang siapa yang tidak melaksanakan shalat fardhu Jum’at berjamaah akan didenda maka beliau harus membayar denda yang telah ditetapkan raja. Selain itu, adanya Undang-Undang Sultan Adam yang terdiri dari 31 pasal yang berisi tentang hukum Islam, hukum acara Peradilan Islam, hukum agraria, hukum fiskal, hukum pidana, hukum perdagangan, dan lain-lain 3 juga menjadi bukti lainnya, karena siapakah yang menyidang seandainya terjadi pelanggaran, tentunya Pengadilan Agama, walaupun sistem yang berlaku di Pengadilan Agama dulu dengan sekarang berbeda, tapi esensinya tetap sama, bahkan Pengadilan Agama pada masa itu mempunyai wewenang yang lebih luas dibandingkan Pengadilan Agama zaman sekarang. 5. Peradilan Agama Islam di Priangan Tak hanya di daerah kekuasan Sultan Agung saja, tetapi di pesisir sebelah utara Jawa, utamanya di Cirebon hukum Islam utamanya yang berhubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan amat banyak berpengaruh. Tercatat di Priangan misalnya, adanya Pengadilan-pengadilan Agama yang mengadili perkara yang dewasa ini masuk kepada masalah-masalah subversif. Pengadilan ini merupakan suatu peradilan yang mengambil pedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh penghulu, yang tentu saja adalah pemuka-pemuka agama di kerajaan. Sistem pengadilan di Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang itu diputuskan menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilullah. Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kedalam Papakem Cirebon itu telah tampak adanya pengaruh hukum Islam. Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar, Antasari Press, Banjarmasin, 2009, h. 123. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 80 H i s t o r i a M a d a n i a Di Cirebon atau Priangan terdapat tiga bentuk peradilan; Peradilan Agama, Peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukum mati, yaitu yang menjadi absolut kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak lagi dikirim ke Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram telah merosot. Kewenangan absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan pengadilan Peradilan Agama Islam di Banten Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam. Pada masa sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak berbekas lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qodli sebagai hakim tunggal. Lain halnya dengan Cirebon yang pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon kitab hukum yang digunakan adalah pepakem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam Hukum Jawa Kuno, memuat Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah. Namun satu hal yang tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh hukum pertama kali menginjakan kakinya di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Bagaimana mulai berjalannya Peradilan Agama di sana dan bagaimana sikap Belanda terhadap Peradilan Agama di daerah ini, kiranya perlu diketahui bagaimana awal masuknya Islam di Banten. Setelah kota Banten, salah satu kota pelabuhan dari kerajaan Pakuan-Pajajaran dapat dikuasai oleh Falatehan, segeralah dibentuk pemerintahan atas nama Sultan Demak. Tak lama kemudian dapat dikuasai pula Sunda Kelapa, juga salah satu kota pelabuhan dari Pakuan-Pajajaran, yang kemudian diberi nama Jayakarta dan dijadikan wilayah dari kesultanan Banten. Cirebon sebagai kota pelabuhan terakhir dari Pakuan-Pajajaran diduduki pula ole Falatehan, selaku abdi dari Sultan Demak dalam rangka penyebaran agama Islam, sehingga Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon menjadi wilayah kekuasaan Demak. Pada tahun 1552 Falatehan pindah ke Cirebon dan terus memerintah daerah ini, sedang pemerintahan di Banten diserahkan kepada putera sulungnya Hasanudin. Pada tahun 1568 Hasanudin menyatakan kesultanan Banten sebagai negara merdeka, bebas dari kekuasaan Demak, dan mulai mengatur pemerintahannya sendiri. Di antaranya menata pelaksanaan Abdul Halim, Op. Cit., hal. 43. Cik Hasan Bisri, Op. Cit., hal. 115. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 81 H i s t o r i a M a d a n i a peradilan di kesultanan tersebut. Orang-orang Banten, sebelum kekuasaan negara direbut oleh Falatehan sudah mulai masuk Islam. Hal itu dipermudah oleh karena syahbandar di Banten dan yang memerintah kota itu atas nama Prabu Siliwangi, sudah lebih dahulu memeluk agama Islam. Orang-orang Banten, sebagai orang yang baru saja memeluk agama Islam amatlah giat dalam menjalankan agamanya dan memegang teguh pada hukum Islam. Meskipun Cirebon didirikan hampir bersamaan dengan kesultanan Banten, akan tetapi lapisan atas dari penduduk Cirebon, yang berasal dari Demak, masih kokoh terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Hal tersebut berpengaruh pada perkembangan peradilan di dua kesultanan tersebut. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. Pengadilan yang pernah ada dan berjalan berdasar pada hukum Hindu sebagai bentukan dari kerajaan Pakuan-Pajajaran, diwaktu Sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim tunggal. Kalau pada abad ke-17 kesultanan Banten sudah sempurna menerapkan hukum Islam, maka pada awal abad ke-17 penguasa kerajaan Mataram baru masuk agama Islam. Akan tetapi dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam pada permulaaan abad ke-17 tersebut penyebaran Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia karena wilayah kekuasaan kerajaan Mataram hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. 7. Peradilan Agama Islam di Sulawesi Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kemudian disusul oleh kerjaan Goa yang merupakan kerajaan terkuat dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya. Sementara itu di beberapa wilayah lain; seperti Kalimantan Selatan dan Timur, dan tempat-tempat lain, para hakim agama di angkat sebagai penguasa setempat. Dengan berbagai ragam pengadilan itu, menunjukan posisinya yang sama, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu pada dasarnya batasan wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing. Dan fungsi sultan pada saat itu adalah sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan hukum. Abdul Halim, Op. Cit., hal. 45. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 82 H i s t o r i a M a d a n i a Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintah kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Melalui kekuasaan politik dalam struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ pejabat syari’at yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek pejabat adek yang sebelum datangnya Islam telah ada pengadilan tingkat II. Parewa syara’ dipimpin oleh Kali Kadli, yaitu pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan pengadilan tingkat III. Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bahwan yang disebut imam serta dibantu oleh seorang khatib dan seorang Bilal Pengadilan tingkat I. Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat harta, sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan raja Gowa XV 1637-1653 ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjadi hakim agama Islam. Hirarki Peradilan pada Kerajaan Sulawesi 8. Kerajaan Raja Ali Haji di Riau Sistem peradilan pada kerajaan Riau telah tertata dengan rapi pada masa Raja Ali. Lembaga peradilan mempunyai kelengkapan layaknya sebuah pengadilan di masa sekarang. Peradilan terdiri dari, Mahkamah Kerajaan yang bertugas menyelesaikan sengketa dalam kerajaan dan Mahkamah Kecil yang bertugas menangani setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Untuk masing-masing mahkamah itu diangkat tiga orang Qadhi yang menangani perkara mu’amalah, jinayah dan munakahat. PAREWA SYARA’-PAREWA ADEK Tingkat Kedua KHATIB-BILAL Tingkat Pertama Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 83 H i s t o r i a M a d a n i a Struktur Lembaga Peradilan Kerajaan Raja Ali Haji Dasar Penyelenggaraan Peradilan di Kesultanan Di Mataram, masa kepemimpinan Sultan Agung, seorang Raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya, pengaruh Islam masuk pada tata hukum yang diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang diubah menjadi Pengadilan Surambi, karena diadakan di serambi mesjid Agung. Dasar hukum penyelenggaraan peradilan pada masa kesultanan in adalah adanya pendelegasian wewenang dari Sultan kepada Penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Pengadilan pradata maksudnya perkara-perkara yang diadili oleh Raja dan diadakan di Negaragung, yaitu pusat pemerintahan di Ibukota Negara. Di Banten, masa kepemimpinan Sultan Hasanudin, pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi. Pendelegasian wewenang dari Raja kepada Kadhi. Di Cirebon, setelah pangeran Girilaya wafat dan meninggalkan tiga anaknya, sehingga Cirebon dibagi tiga, yang dipimpin oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, Panembahan Cirebon. Meski dibagi tiga, namun dalam permasalahan yang besar, mereka tetap bersama. Kemudian dalam menyelesaikan perkara, diserahkan kepada 7 menteri sehingga menjadikan pendelegasian wewenang dari ketiga sultan kepada 7 menteri tersebut untuk menyelesaikan perkara. Adapun ketujuh menteri ini adalah delegasi diantara Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 84 H i s t o r i a M a d a n i a 3 orang dari Sultan Sepuh, 2 orang dari Sultan Anom, dan 2 orang dari Panembahan Cirebon. Kemudian pada tahun 1688 terjadi perjanjian de hartogh merupakan dasar hukum sehingga mengubah pengadilan 7 menteri yang diganti menjadi pengadilan 7 jaksa. Kedudukan Pengadilan Di Mataram, kedudukan pengadilan yang menjadi wewenang penghulu, tetap menjadi kekuasaan Sultan Agung, karena ditakutkan bertentangan pada hukum adat yang ada. Meski demikian, penyelesaian yang dilakukan Sultan tidak bertentangan dengan keputusan pengadilan surambi. Dan ini memang keputusan yang dikeluarkan oleh penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga Pengadilan Pradata tetap ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, ada kedudukan lain, yaitu adanya Pengadilan Penghulu yang sebagian besar wewenang pengadilan karta jaksa menjadi wewenang Penghulu. Di Banten, kedudukan pengadilan yaitu dengan dipimpin oleh kadhi. Dalam putusannya, kadhi menetapkan putusan mengadili seseorang, manun kedudukannya tetap ada dibawah raja. Faktanya yaitu karena setiap adanya putusan dari Kadhi harus tetap disahkan oleh Raja. Di Cirebon, kedudukan 7 menteri ada di bawah tiga Sultan, karena merupaka perwakilan dari ketiga Sultan. Ketujuh menteri ini yang setelah perjanjian de Hartogh itu berubah menjadi tujuh Jaksa, melakukan perbuatan mengadili orang yang berperkara dengan mengeluarkan keputusan yang diambil dari ketujuh jaksa secara bersama-sama yang disebut dengan surat bulat. Susunan Pengadilan Pengadilan surambi ini dipimpin oleh penghulu yang mempunyai beberapa ulama sebagai anggota. Hal ini identik dengan musyawarah. Meski tidak sesuai dengan hukum Islam bahwa figur hakim hanya seorang saja, tetap saja Sultan Agung yang memberi keputusan. Hal ini dilakukan untuk memelihara faham kedaulatan, meski begitu, tetap saja keputusan berdasarkan atau tidak menyimpang dari nasehat putusan Pengadilan Surambi. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Susunannya berubah, karena Pengadilan Pradata telah ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 85 H i s t o r i a M a d a n i a pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa karta hanya mengadili perkara padu saja. Pengadilan di Banten yang dikepalai oleh Kadhi tidak mempunyai susunan, karena pengadilan dipimpin hanya oleh seorang Kadhi saja. Adapun di Cirebon, susunan pengadilannya yaitu bahwa perwakilan dari ketiga penguasa itu berkedudukan sama. Jadi susunannya yaitu Tujuh Jaksa bersama-sama dalam surat bulat, kemudian apabila belum bisa di putuskan maka dilakukan dengan Sidang para Sultan yang setelah Cirebon menerima perjanjian itu, maka residen Belanda pun ikut hadir dalam sidang para sultan. Kekuasaan Pengadilan Pengadilan di Mataram, yaitu pengadilan surambi yang dipimpin oleh penghulu dan dibantu dengan beberapa alim ulama. Pengadilan ini kebiasaan mengadili perkara-perkara mengenai perkara perkawinan dan kewarisan. Kekuasaan penghulu ialah memberikan keputusan-keputusan yang mempunyai arti suatu nasehat adpis kepada raja didalam mengambil keputusannya. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan,karena Menurut Amangkurat I, tradisi harus tetap dijalankan, karena wajib untuk memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa karta hanya mengadili perkara padu saja. Adapun di Banten, kekuasaan Kadhi yang merupakan kekuasaan pengadilan tunggal, berkuasa mengadili perkara-perkara hingga perkara hukuman mati namun tetap kekuasaannya dibawah raja karena dalam pengesahannya memrlukan pengesahan dari raja. Selain itu di Cirebon, yang pengadilannya dipimpin oleh tujuh menteri tujuh jaksa, mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara yang merupakan hal-hal yang biasa Tresna, 1978 25. Adapun kekuasaan mengadili perkara tertentu yang menghasilkan keputusan bersama-sama dengan surat bulat. Adapun apabila salah satu tidak sepakat, maka pengadilan dialihkan kepada sidang para sultan. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 86 H i s t o r i a M a d a n i a Hukum Substantif Hukum materiil yang digunakan di pengadilan mataram ialah kitab-kitab fiqh yang bermadzhab syafi’ karena Islam masuk pertama kali bermadzhab Syafi’i. Pada tahun 1645, kekuasaan beralih kepada Amangkurat I yang mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan, karena menurut Amangkurat I, wajib memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkaraPadu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Banten juga memakai hukum materiil yang sama dari Islamnya, adapun tetap terdapat hukum hindu yang merupakan adat dari zaman dahulu. Hukum hindu itu ialah hukuman mati yang dijatuhi oleh Kadhi. Adapun di Cirebon, kitab hukum yang digunakan yaitu Papakem Cirebon yang didalamnya terdiri dari macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-kuno. Diambi dari beberapa kitab, diantaranya Kitab huum Raja Niscaya, undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah, juga disebut Surya Alam. Hukum acara pada kesultanan Mataram belum ada hukum yang mengatur tentang acara pengadilan. Adapaun di Banten pula, seperti itu. Adapun selain kedua kesultanan ini, Kesultanan Cirebon yang di dalam segala perkaranya, yang menjadi acara sidang menteri itu diputuskan menurut “undang-undang jawa”. Penutup Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri. Maka Peradilan Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara yang kemudian disambut dengan senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 87 H i s t o r i a M a d a n i a Daftar Pustaka Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar, Antasari Press, Banjarmasin, 2009. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931. Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara Terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta, 1972. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 88 H i s t o r i a M a d a n i a ... Keterbukaan masyarakat dalam menerima hukum Islam kemudian berlanjut dengan diterimanya Hukum Islam di lingkungan kerajaan Ismanto & Suparman, 2019. Tumbuh dan berkembangnya Hukum Islam di lingkuran kerajaan dibuktikan dengan diterapkannya hukum Islam dalam sistem hukum kerajaan secara berangsur-angsur Hamka, 1961. ...Ashabul FadhliRahmiati RahmiatiFathur RahmiJelang RamadhanThis study aims to find out the dialectic of formulating the age limit for marriage which took place from the pre-independence period until the issuance of Supreme Court Regulation Number 5 of 2019 concerning Guidelines for Adjudicating Applications for Marriage Dispensation. The demand to determine the age limit was first voiced by the women's movement explicitly during the colonial period due to the large number of daughters being married off. Child marriage has been detrimental and has a bad impact on the lives of girls. This research is a normative legal research that uses a statutory approach, a conceptual approach and a historical historical approach. The results of this study prove that the formulation of the politically negotiated age limit after the independence period did not receive special attention by the Government. Interests in other matters concerning the approval of the Marriage Law are generally more important. The issue of the age limit has received a lot of criticism after Article 7 of Law No. 1/1974 on marriage was judged to be casuistic in terms of legal material and judicial practice. With the promulgation of PERMA Number 5 of 2019 it becomes the determinant of the legal vacuum regarding the application of the age limit rule and the process of adjudicating marriage dispensation cases by judges in the Religious Courts. Faizal ArifinNadia Nuraini HasniElla NurlailasariThe Dutch Colonial Government formed a colonial legal system aimed at strengthening power in the Dutch East Indies. Haatzaai Artikelen is one of the products of colonial law used to sanction anyone who criticizes Dutch rule. The study of Haatzaai Artikelen is interesting because colonial legal instruments impose injustice through criminal offense with accusations of utterance or expressions of hostility, hatred, and contempt for Dutch political interests. This Research uses the historical method with this legal approach aims to analyze the implementation of Haatzaai Artikelen and its impact on the struggle against colonialism. The results showed that the Dutch colonial government interpreted Haatzaai Artikelen according to their political interests. Also, the Dutch Colonial Government and its judicial system systematically used the Haatzaai Artikelen as a rubber article to arrest Indonesian activists, silence, and imprison them. The implementation and demands of the Haatzaai Artikelen offense have implications for the rise of resistance against Dutch colonialism and exploitation, and on the other hand, have weakened the struggles of several figures so that the application of this punishment affects the dynamics of the Indonesian national Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo PersadaAbdul HalimAbdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo PersadaM S Cik Hasan BisriCik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Uit Adatrechbundel XXXV, serie DP RouffaerVorstenlandenP. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, S PoerwodarmintaJ B Baoesastra Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939. Jakarta - Kerajaan Islam di Indonesia sudah ada sejak abad 13 hingga 15 masehi. Munculnya kerajaan Islam dikarenakan baiknya hubungan perdagangan antara Indonesia dengan negara di Timur memiliki pengaruh di kehidupan masyarakat Indonesia, kebudayaan Islam kian berkembang sampai saat ini. Pengaruh dari kebudayaan Islam yang berdampak pada kehidupan masyarakat dapat terlihat dari peninggalan-peninggalannya. Berikut ini peninggalan-peninggalan kerajaan Islam di Kerajaan Samudra PasaiDilansir dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X KD dan oleh Kemendikbud, Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pantai utara Aceh, pada muara Sungai Psangan Pasai. Di muara tersebut terdapat dua kota, yaitu Samudra agak jauh dari laut dan Pasai yang merupakan kota di pesisir pantai. Peninggalan yang ditinggalkan dari Samudra Pasai ialah Cakra Donya Makam Sultan Malik Al-Shaleh Makam Sultan Muhammad Malik Al-Zahir Makan Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah Makam Teungku Peuet Ploh Peuet Makam Ratu Al-Aqla Nur Ilah Stempel Kerajaan Samudra Pasai Naskah Surat Sultan Zainal Abadin2. Kerajaan MalakaLetak kerajaan Malaka sangat strategis, yaitu berada di Semenanjung Malaya dan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kehidupan pemerintahan, kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Raja pertama sekaligus pendiri kerajaan Malaka adalah Iskandar Kerajaan AcehKerajaan Aceh mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa kejayaan Aceh, perekonomian Aceh mengalami perkembangan pada pertanian yang menghasilkan budaya dari kerajaan Aceh adalah tertanda dari kemajuan bidang sosial-budayanya, yaitu tersusunnya suatu undang-undang tentang tata pemerintahan yang disebut dengan "Adat Makuta Alam". Kemudian, munculnya ulama besar yang bernama Nuruddin Ar Raniri yang merupakan pengarang buku sejarah Aceh dengan judul Bustanussalatin Taman Segala Raja menguraikan tentang adat istiadat masyarakat Aceh dan ajaran agama Kerajaan DemakKerajaan Demak berkembang dari sebuah daerah yang bernama Bintoro yang merupakan daerah bawahan dari Majapahit. Kehidupan budaya masyarakat Demak dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan kerajaan Demak. Masjid Agung Demak adalah karya besar para wali yang menggunakan gaya asli Indonesia yaitu atapnya bertingkat tiga dan memiliki peninggalan selanjutnya adalah pintu Bledek. Pintu Bledek adalah pintu yang dilengkapi dengan pahatan yang dibuat pada tahun 1466 oleh Ki Ageng Kerajaan Gowa TalloKerajaan Gowa dan Tallo merupakan dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan baik. Kedua kerajaan tersebut lebih dikenal dengan kerajaan Makassar. Pada sebuah naskah lontar, kerajaan Makassar memiliki hukum perniagaan yang mengatur pelayaran dan perniagaannya yang disebut dengan "Ade Allopiloping Bicaranna Pabbalu'e" pada sebuah naskah lontar tentang hukum laut karya Amanna budaya lainnya yang sampai sekarang menjadi kebanggaan Indonesia adalah alat penangkap Ikan dan kapal Pinisi. Kemudian, di samping itu, masyarakat kerajaan Makassar juga mengembangkan seni sastra yaitu Kitab Kerajaan Ternate dan TidoreKerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah Pulau Halmahera maluku Utara. Tanah Maluku kerap disebut dengan "The Spicy Island" sebab kekayaannya akan kebudayaan dari Kerajaan Ternate dan Tidore adalah perahu Kerajaan PerlakDalam buku IPS Terpadu yang disusun oleh Nana Supriatna, Mamat Ruhimat dan Kosim, dijelaskan Kerajaan perlak terletak di Bukit Meuligou, Aceh. Sebelum menjadi sebuah kerajaan besar, negeri Perlak telah mempunyai pemerintah meskipun sangat sederhana dan telah memiliki raja yang bergelar sumber sejarah menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak. Hal ini didasarkan kitab Idharul Haqq karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy dan kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sulthan As Salathin karangan Syekh Samsul Bahri Abdullah Al Asyi yang kemudian disalin kembali oleh Said Abdullah Ibn Saiyid Habib Saifuddin pada 1275 H atas suruhan Sultan Alaidin Mansyur naskah tua tersebut menyatakan bahwa di Aceh telah berdiri kerajaan Perlak yang sudah ada sejak abad ke-3 Hijriyah pertengahan abad ke-9 Masehi. Selain itu pula, dari catatan Saiyid Abdullah ibn Saiyid Habib Saifudin mengenai silsilah raja-raja Perlak dan Pasai. Simak Video "Megahnya Arsitrktur Istana Siak Bergaya Eropa dan Timur Tengah, Riau" [GambasVideo 20detik] lus/lus - Antara abad ke-17 dan 18, VOC berhasil menguasai Batavia dan beberapa wilayah di Nusantara lainnya. Di luar daerah-daerah tersebut, kerajaan-kerajaan bercorak Islam masih berdiri sebagai kerajaan berdaulat dan memegang kendali atas pangkalan ataupun rute-rute perdagangan. Setelah terlibat persaingan dan perebutan kekuasaan, VOC akhirnya berhasil memaksakan perjanjian terhadap raja-raja di Nusantara agar dapat terlibat dalam urusan VOC terlibat dalam urusan internal kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah VOC ingin memecah belah kekuasaan kerajaan-kerajaan pribumi. Dengan begitu, ancaman dari kerajaan yang menjadi pesaing dan belum berhasil ditaklukkan dapat diminimalisasi. Berikut ini bentuk keterlibatan VOC dalam urusan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Intervensi VOC di Kerajaan Banten Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1682, yang juga sangat membenci VOC. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa terlibat konflik dengan putranya, Sultan Haji, VOC menganggap hal itu sebagai kesempatan berharga. VOC segera mendekati Sultan Haji, yang dianggap mudah dipengaruhi, untuk melakukan politik adu domba. Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh ayahnya berupaya menyingkirkan dirinya dari takhta Kesultanan Banten. Sultan Haji kemudian bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang merugikan Banten. Tidak hanya itu, perjanjian yang diajukan VOC secara praktis membuat Kerajaan Banten tidak memiliki kedaulatan lagi. Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan harus mendapatkan persetujuan VOC. Baca juga Kerajaan Banten Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan Intervensi VOC di Kerajaan Mataram Dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai raja yang membawa kerajaannya mencapai puncak keemasan, tetapi juga sangat gigih melawan VOC. Keterlibatan VOC di Kerajaan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I 1645-1677, putra sekaligus pengganti Sultan Agung. Berbeda dari ayahnya, Amangkurat I memiliki sifat sangat kejam dan mau bersekutu dengan VOC. Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC, yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan VOC dan mengizinkannya untuk ikut campur urusan politik kerajaan. Pada masa pemerintahan Amangkurat II, VOC mulai melakukan pencaplokan wilayah, mengendalikan pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa, dan memonopoli ekspor beras Mataram. Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam intrik-intrik di kalangan keluarga kerajaan. Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram, yang kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro. Pada akhirnya, Kerajaan Mataram harus menandatangani Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang menyebabkan kerajaan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba atau devide et impera VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III. Baca juga Devide et Impera Asal-usul dan Upaya-upayanya di NusantaraIntervensi VOC di Gowa-Tallo dan Bone VOC tidak hanya memanfaatkan konflik internal kerajaan, tetapi juga perselisihan antarkerajaan, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone. Dalam konflik dua kerajaan tersebut, VOC kembali melakukan siasat politik adu domba hingga membuat Raja Bone, yakni Aru Palaka, mau bersekutu untuk melawan Gowa-Tallo. Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Gowa-Tallo, di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667. Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Gowa-Tallo dan dua hari setelahnya Sultan Hasanuddin turun takhta. Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, karena raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan. Tidak hanya itu, VOC akhirnya berhasil menguasai monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur. Intervensi VOC di Kerajaan Banjar Belanda sebenarnya telah berupaya memonopoli perdagangan di Banjar sejak awal abad ke-17, tetapi selalu diusir. Pada abad ke-18, VOC akhirnya berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Kerajaan Banjar. Kesempatan untuk melakukan intervensi semakin lebar, saat Pangeran Nata terlibat konflik dengan Pangeran Amir. Pangeran Amir kemudian meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, untuk menyerang Kerajaan Banjar dengan pasukan orang Bugis, sedangkan Pangeran Nata meminta bantuan VOC. Meski Sultan Nata berhasil memertahankan takhtanya, kesepakatan dengan VOC pada akhirnya merusak adat kerajaan. Selain itu, wilayah Kerajaan Banjar juga semakin sempit karena aneksasi yang dilakukan oleh VOC. Baca juga Isi Perjanjian Bongaya dan Latar Belakangnya Intervensi VOC di Ternate dan Tidore Kerajaan Ternate mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Baabullah meninggal pada 1583. Kehidupan politik Kerajaan Ternate pun semakin kacau saat VOC datang dan memenangkan persaingan melawan bangsa barat lainnya. Sejak saat itu, VOC memegang hak atas monopoli perdagangan dan mulai mendirikan benteng di Ternate. Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali VOC. Hal sama juga terjadi di Kerajaan Tidore, setelah Sultan Nuku tutup usia pada 1805 M. Kondisi di Kerajaan Tidore yang terus mengalami konflik internal segera dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruhnya. Pada akhirnya, Kerajaan Tidore juga jatuh ke tangan Belanda. Intervensi VOC di Sumatera Di Pulau Sumatera, VOC dengan mudah menguasai kerajaan-kerajaan Islam, kecuali Kerajaan Aceh. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut jatuh ke tangan VOC setelah mengadakan kontrak yang merugikan bagi mereka. Sementara Kerajaan Aceh masih dapat menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan abad ke-19, setelah VOC dibubarkan. Namun, setelah terlibat peperangan selama beberapa dekade, Kerajaan Aceh harus mengakui kekuatan Belanda. Referensi Amarseto, Binuko. 2017. Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta Relasi Inti Media. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto Eds. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta Balai Pustaka. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam di Indonesia – Bagaimanakah Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan-Kerajaan Bercorak Islam Di Indonesia ? Itulah pertanyaan yang akan kita bahas pada tulisan ini. Pada abad XIII M, XIV M, XV M, dan XVI M, di beberapa daerah Indonesia muncul dan berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam. sebagian ada yang wilayahnya mirip dengan negara kota citi state atau polis, sebagian lagi dapat berkembang menjadi kerajaan besar. Pada umumnya pusat pemerintahannya di daerah pesisir kecuali Pajang dan Mataram. Sumber utama pendapatan kerajaan pesisir adalah dari kegiatan perdagangan dan pelayaran. Contohnya adalah Samudera Pasai, malaka, Lamuri, Siak, Banten, Cirebon, Demak, Gersik, Banjar, Gowa, Tidore dan lain-lain. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Bercorak Islam Dalam pandangan sebagian masyarakat, raja dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia. Patuh dan taat kepada raja disamakan dengan patuh kepada Tuhan. Dilihat dari prinsip kekuasaan yang menjadi dasar kedudukan raja, terdapat kerajaan dengan sistem tribalisme dan patrimonialisme, dan sistem despotisme. Sistem yang pertama Tribalisme dan patrimonialisme berintikan hubungan patrionclient antara raja dengan rakyat, sedangkan sistem yang kedua depotisme terjadi karena format kerajaan sudah menjadi lebih besar dengan birokrasi yang kompleks, dan kekuasaan terpusat pada raja. Dari beberapa sumber serat, kita dapat mengetahui bahwa pribadi raja bersifat sakral keramat dan penuh kharisma. Menurut kitab Niti Sastra Zaman Mataram, raja adalah unsur mutlak untuk menjamin ketertiban dalam suatu masyarakat. kedudukan raja berada di atas hukum. Dalam Niti Praja, diumpamakan bahwa raja adalah dalang sedangkan rakyat merupakan wayangnya, raja berkuasa penuh terhadap rakyatnya. Hal ini cocok dengan ajaran Wulung Reh, bahwa raja menguasai sandang pangan dan hidup matinya rakyat. kedudukan raja telah dikehendaki Tuhan untuk berkuasa di seluruh wilayah negaranya. mengabaikan perintah raja berarti mengabaikan perintah Tuhan. Dalam Serat Sewaka disebutkan bahwa sesuatu dari raja perlu diterima sebagai restu. bahkan dalam Serat Surya Ngalam dinyatakan bahwa tampil di hadapan raja tanpa ada panggilan terlebih dahulu dapat dihukum mati. Raja berkewajiban menegakkan keadilan dan memperhatikan kepentingan rakyatnya. Konsep Jawa tentang raja termasuk dalam Serat Manu. Dinyatakan bahwa raja adalah makhluk yang lebih tinggi dari pada rakyat, bahkan dianggap sebagai dewa berwujud manusia. Kehendaknya menciptakan adat dan hukum sabda pandita ratu, namun bila dia melalaikan kewajibannya maka namanya akan jatuh dan dapat diturunkan dari takhta. Salah satu unsur penting dari sebuah kerajaan yang masih berakar ialah wahyu atau pulung ada yang menyebut ndaru, yang dibayangkan sebagai segumpal sinar yang turun kepada seseorang. Penerima pulung mendapat legitimasi untuk menjadi penguasa dan pemimpin. Otoritasnya bersifat kharismatik. Selama pulung berada di keraton, raja berhak tetap memerintah dan duduk di atas singgasana kerajaan. Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam dimana kekuasaan raja sering bersumber pada asal keturunan, karena itu silsilah raja berfungsi sebagai dasar legitimasinya. Raja-raja Mataram membuat silsilah dengan meruntut ke belakang sampai kepada Majapahit, berlanjut ke zaman pewayangan mahabrata dan ramayana yang bersifat mistis, terus ke zaman para nabi. Bahkan sampai sekarang pun di kalangan masyarakat Jawa Tradisional masih kuat kepercayaannya bahwa setiap Raja Mataram mempunyai hubungan spiritual dengan penguasa Laut Selatan, yaitu Nyi Roro Kidul. Dalam kronik Banjarmasin dan Kronik Kutai, raja-rajanya juga menarik garis belakang sampai Majapahit. beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Demak, Banten, dan Cirebon melacak genealogi rajanya kepada para wali, sebagai upaya memperoleh kharisma baru. Sementara itu, di kalangan raja-raja, dalam menarik garis genealogis mereka menghubungkan dirinya dengan negeri Arab sebagai asal nenek moyangnya. Di daerah Sulawesi Selatan, genealogi kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Ternate, dan Soppeng dihubungkan kembali kepada raja pertama yang turun dari langit sebagai Tomenurung dan oleh rakyat diangkat sebagai rajanya. Sejak islamisasi para raja tidak hanya memakai gelar sultan contohnya Sultan Malik as Saleh, tetapi juga mengangkat dirinya sebagai khalifah pemimpin pemerintah dan agama. Untuk Yogyakarta dan Surakarta gelar tersebut masih ditambah dengan panatagama penata dan pengatur kehidupan beragama. Contohnya Raden Mas Rangsang di Mataram bergelar prabu Pandita Anyakrakusuma, dan kemudian berubah menjadi Sultan Agung Senopati Ingalga Ngabdurahman Sayidin Panatagama. nama gelar raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta juga mengandung makna kebesaran, seperti Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, dan Mangkunegoro. Raja-raja Melayu sering memakai gelar syah, seperti gelar rasa Persia. gelar sunan yang pada awalnya dipakai para wali, kemudian disandang juga oleh raja-raja Mataram Surakarta, Palembang, dan Kutai. Sedang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Ternate, Sumbawa, dan Banten, gelar raja-rajanya adalah sultan. Beberapa di antara mereka menambahnya dengan khalifatullah, misalnya Sultan Tidore dan Kutai. Selain itu, juga timbul tradisi memakai gelar dan nama Arab. Semuanya ini bertujuan untuk menambah kewibawaan sultan di mata rakyatnya. Dengan gelar tersebut, para raja di kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia memandang dirinya sebagai pemegang kekuasaan duniawi dan rohani. Sebagai lambang kebesaran dan kekuasaannya, para raja memiliki sejumlah benda pusaka yang dianggap keramat. Pusaka dan Konsep Kekuasaan Pada Kerajaan Islam Pusaka dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat mempengaruhi lingkungannya, mengembalikan keseimbangan alam dengan menangkal berbagai bahaya wabah penyakit, bencana alam, atau gejolak sosial. Wujud pusaka bermacam-macam. Di Jambi, pusaka berupa keris dan ujung tombak. di Indragiri, berupa payung dan gendang nobat gendang tembaga. Di Sanggau berupa keris, pedang dan gong. Di kota Waringin, berupa pedang-kipas, dua buah singgasana, dan tombak. Di Surakarta dan Yogyakarta, berupa Sawunggaling ayam jantan, banyak wide angsa, kipas, tempat tembakau, tongkat jalan, alat-alat senjata, dan sebagainya. Suatu hal yang menarik adalah bahwa raja-raja juga mempunyai memelihara makhluk-makhluk aneh, misalnya kebo bule kerbau putih, orang kerdil, dan lain-lain. Demikianlah bahasan ringkas kami mengenai konsep kekuasaan pada kerajaan Islam di Indonesia. Semoga tulisan ini ada manfaatnya dan sampai jumpa lagi di lain kesempatan

terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara